Penyerangan Oleh Oknum Aparat dan Perlindungan “Setengah Hati” Relawan Medis-Kemanusiaan

Oleh : dr. Syukri Mawardi

Aksi 22 Mei 2019 menyisakan banyak hal. Penyerangan terhadap tim medis Dompet Dhuafa viral. Awalnya saya tentu tidak percaya, dugaan saya ini framing. Tapi saya juga tidak serta merta menjadi apatis. Saya lalu kontak dengan salah satu tim medis Dompet Dhuafa, teman satu tim saya dalam tugas kemanusiaan di kamp konsentrasi etnik Rohingya 2 tahun lalu.

“Mas, katanya diserang yah, Betul ngga’ beritanya?”. “ Iya dok, sebentar lagi kami press con resmi”. “Jadi, mas kondisi gmn?” tanya saya penasaran. “Alhamdulillah selamat dok karena sempat naik mobil, tapi mobilnya rusak parah”.

Saya lalu dikirimkan video kondisi sesaat setelah penyerangan. Ini sudah tidak benar, ini kejahatan terhadap kemanusiaan, ini pelanggaran terhadap kesepakatan bersama.

Mobil Tim Medis Dompet Dhuafa yang diserang oknum aparat

Perlindungan terhadap petugas medis dalam konflik/sengketa apapun itu adalah asasi. Apapun jenis sengketanya. Semuanya telah diatur dalam konvensi Genewa 1949 yang sudah diratifikasi di Indonesia.  Aturan ini adalah kesepakatan dan kewajiban seluruh pihak yang bertikai dalam perang/konflik tertentu dalam berbagai tingkatan. Penyerangan terhadap tim medis Dompet Dhuafa adalah contoh mengapa aturan ini harus ada.

Memang benar, kita harus menyadari bahwa ini adalah ulah segilintir oknum polisi yang ada dalam dua kondisi yang memungkinkan.  Yang pertama adalah oknum yang tidak mengetahui aturan perlindungan tim medis dalam konflik. Ini seperti kata pepatah, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Mungkin karena oknum polisi ini tidak mengetahui hukum humaniter Internasional sehingga berani melakukan pelanggaran asasi itu.

Kemungkinan kedua lebih dari itu, ini justru terjadi karena mengetahui dengan baik tentang UU perlindungan dalam konflik bagi tenaga medis di Indonesia. Loh, kok kemungkinan kedua bisa terjadi dan legal?  Ini bisa terjadi karena memang “sempitnya” UU Kepalangmerahan yang “katanya” telah memenuhi segala unsur perlindungan dari konvensi Genewa.

Begini, di Indonesia petugas medis yang terlibat dalam konflik dilindungi oleh UU Kepalangmerahan. UU Kepalangmerahan No.1 tahun 2018 tentang kepalangmerahan hanya menunjuk Palang Merah Indonesia (PMI) dan tenaga medis dari TNI sebagai penyelenggara kepalangmerahan. Disinilah kemungkinan kedua d iatas bisa terjadi.

Relawan PMI dengan sigap menolong korban Aksi 22 Mei di Jakarta

UU hanya menjamin aktivitas (termasuk logo) palang merah dan medis TNI dalam daerah konflik sebagai aktivitas (dan juga logo) resmi petugas medis. Akibatnya apa? Petugas medis dari lembaga kemanusiaan lain yang jumlahnya mungkin ratusan kiprahnya akan diblokade dalam melakukan tugas kemanusiaannya secara legal formal, padahal konvensi Internasional memberikan kuasa kepada pengguna lambang palang merah, bulan sabit merah dan kristal merah.

Petugas medis Bulan Sabit Merah Indonesia ( BSMI) sedang evakuasi korban aksi 22 Mei. Sumber gambar : CNN Indonesia

Kita ini bangsa yang besar, bangsa yang plural. Beragam interest, kondisi sosial budaya, agama dan kepercayaan ada di tanah air kita ini. Adalah fakta di lapangan bahwa ada kondisi sosial masyarakat yang bisa lebih menerima lambang bulan sabit merah. Juga ada situasi dan kondisi dimana dalam konflik Internasional Bulan sabit Merah Indonesia lebih mampu bergerak daripada yang lain. Dan disaat yang lain justru sebaliknya.

Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Kristal Merah. Lambang Jenewa yang dilindungi sebagai tanda pengenal, pembeda dan pelindung

Dengan demikian bagaimana jika terjadi kekerasan ke petugas medisnya? Jangan marah jika anda menjadi korbannya. Anda memang tidak dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu jangan heran jika ada pejabat yang memberikan pernyataan terkait penyerangan tim medis Dompet Dhuafa ke media dengan berkata “itu kan resiko mengikuti aksi”. Miris.

Jadi, sejatinya penyerangan terhadap tenaga medis Dompet Dhuafa bagi saya bukan hanya sekedar ketidaktahuan petugas terhadap aturan perlindungan tim medis yang ada dalam setiap konflik lapangan, tapi juga bisa jadi lebih dari itu, bahwa penyerangan ini karena lembaga medis lain tidak bisa diterima oleh aturan legal formil sebagai bagian dari petugas kemanusiaan sebab dibatasaioleh Undang-Undang Kepalangmerahan itu sendiri.

UU perlindungan terhadap tenaga medis maupun relawan non kombatan yang menjalankan misi kemanusiaan di Indonesia belum memiliki payung hukum yang jelas. Terbitnya UU Kemanusiaan dirasa akan lebih kompeherensif mewadahi semua lembaga kemanusiaan yang terdaftar resmi dalam menjalankan misi kemanusiaan  jika dibandingkan saat ini hanya UU Kepalangmerahan saja sebagai instrumen yuridis penerapan Konvensi Jenewa berikut aturan protokol tambahannya di Indonesia.

Kita di Indonesia memiliki banyak lembaga kemanusiaan berbadan hukum resmi seperti ACT, DMC, Dompet Dhuafa, One Care, HILMI dan lain-lain. Jika semua lembaga ini diakomodir niscaya para petugas medis dan relawan kemanusiaan lebih terjamin dan memiliki payung hukum yang jelas.

Kalau UU ini tetap tidak dilakukan perubahan ( UU Kepalangmerahan), perlindungan terhadap petugas kemanusiaan hanya berjalan setengah hati, maka kami juga tetap tidak akan berubah. Tetap dengan kemanusiaan kami, tetap dengan nilai-nilai luhur kami. Keiikhlasan, amanah, profesionalitas, kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesatuan, kesemestaan.

SELAMATKAN SATU JIWA SAMBUNG SERIBU ASA

SALAM KEMANUSIAAN TANPA BATAS

*) Penulis adalah Pengurus Bulan Sabit Merah Indonesia ( BSMI ) Sulawesi Selatan

*) Dokter di Salah Satu RSUD di Sulawesi Selatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *