Masjid dan BSMI, Lentera Harapan Di Medan Bencana

Oleh : dr. Syukri Mawardi

Pernah baca buku “Begin With TheEnd on Mind”? buku ini bercerita tentang cara mengelola mindset dalam bercita-cita yang justru dimulai dari ujung akhir cita-cita itu. Tujuannya apa? Untuk men-drive kita agar jalan dan keputusan yang kita kita ambil selalu terikat dengan tujuan akhir kita. Oleh karena itu, mulailah dari akhir. Begitulah kira-kira ide buku ini.

Dalam perjalanan ke lokasi kemanusiaan, ada begitu banyak hiruk-pikuk. Subjeknya relawan, objeknya ada banyak tapi seringkali adalah manusia. Mengelola manusia yang beragam ide dan interest dalam kondisi alam, manusia, situasi yang “upnormal” memerlukan fungsi ketahanan diri. Masuk dan beradaptasi lalu melawan status quo para relawan yang hidup nyaman dikota adalah tantangan besar selanjutnya bagi kita semua, para relawan.

Karena yang dibutuhkan adalah ketahanan diri, maka benteng hati dalam diri harus lebih luas dan dalam dibandingkan kondisi sempit yang ada dilapangan. Pilihan menjadi relawan juga seringkali menguji rasionalitas kita. Rasionalitas dan pilihan hati. Oleh karena itu, keteguhan (tsabat) kita terhdap tujuan akhir cita-cita itu menjadi sangat krusial. Seorang relawan  muslim harusnya tidak lagi memiliki cita-cita akhir kecuali adalah kebaikan dan kebaikan tertinggi yang kita harapkan adalah Syurga.

Lalu bagaimana cara mengaktifkan “alarm” cita-cita ini setiap saat di lokasi bencana. Kita paling tidak harus melakukan sekurang-kurangnya dua hal ini. Melakukan “rekayasa sosial” dan membentuk instrumen (infrastruktur) pendukung. Sederhananya adalah membentuk soft dan hardware nya.

Pertama adalah Melakukan “rekayasa sosial” dari orang-orang disekitar kita di lapangan. Realisasinya dengan membentuk relawan dalam satu frekuensi cita-cita akhir yang sama. Ini butuh proses kaderisasi yang kuat dan lama.

Yang kedua adalah membentuk instrumennya dilapangan. Kira-kira instrumen apa yang paling bisa mendekatkan kita dengan cita-cita akhir aktifitas relawan kita? Tidak perlu jauh membayangkan apa yang tepat karena instrumen itu juga ada disekitar rumah kita dan ada di banyak tempat di Indonesia. Namanya adalah mesjid.

Mesjid tidak hanya memiliki fungsi instrumen pendekatan cita-cita akhir kita, tapi juga menjadi tempat orang-orang dilokasi bencana (relawan dan korban) menumpahkan seluruh doa, sedih, takut kecewa dan harapannya. Itu seperti menjadi sungai yang menenangkan karena bisa dialiri dengan banyak arus perasaan relawan dan korban didaerah bencana.

Tim Dokter BSMI Sulawesi Selatan menggunakan masjid sebagai basis posko kemanusiaan

Lalu kenapa harus mesjid? Pertama karena trauma healing akan sangat mudah kita lakukan. lalu, dibanyak lokasi bencana kadang mesjid ditinggalkan oleh masayarakat karena sibuk dengan keluarga masing-masing untuk bertahan hidup. Kita datang menjadikannya pusat komando lalu mesjid itu kita makmurkan kembali. ketiga, dalam kondisi bencana apapun, bagi seorang muslim aqidah dan keimanan adalah paling utama. Mesjid yang juga pusat komando itu itu juga dapat menjadi benteng aqidah dan ibadah masyarakat dilokasi bencana. Selain itu pemeriksaan kesehatan, penyaluran bantuan dan logistik semuanya bisa kita lakukan di mesjid sehingga kita bisa melaksanakan kegiatan yang efektif, efisien dan bersifat transenden.

Tim Resuce Gabungan BSMI Maros-Makassar menggunakan masjid untuk distribusi logistik kemanusiaan

Oleh karena itu mesjid mesti itu menjadi pusat komando kegiatan kita di BSMI. Ketika seseorang berada dititik terendah penderiataan hidupnya, keluarganya hilang, hartanya hilang, pekerjaannya hilang karena bencana lalu nasehat itu mengalir dipusat komando BSMI. Bahwa mereka masih memiliki harapan untuk bisa melanjutkan hidupnya karena Allah selalu hadir untuk mereka.

*Penulis adalah Pengurus BSMI SULSEL

*Dokter di Salah Satu RSUD di Sulawesi Selatan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *